Jakarta, Cekpos.id – Dalam masyarakat demokratis, legitimasi pejabat publik bukan sekadar masalah preferensi politik, melainkan masalah hukum, etika, dan kepercayaan publik. Dugaan seputar ijazah palsu, terutama yang melibatkan tokoh petinggi seperti mantan Presiden Joko Widodo atau kepala daerah lainnya, menyentuh inti integritas kelembagaan. Ketika publik bersuara dan penguasa merespons dengan diam atau mengelak, pertanyaannya menjadi mendesak: apa yang harus dilakukan?
Pertama dan terpenting, sistem hukum harus memenuhi kewajiban konstitusionalnya. Pihak berwenang, baik polisi, jaksa, maupun hakim, wajib memeriksa setiap pihak yang terlibat, setiap petunjuk, setiap bukti, dan setiap kesaksian ahli yang relevan. Tidak seorang pun, terlepas dari pangkat atau pengaruhnya, boleh terlindungi dari pengawasan. Hukum harus diterapkan secara setara, dan investigasi harus dilakukan tanpa bias atau intervensi politik.
Ini berarti membuka kembali kasus-kasus yang telah dihentikan sebelum waktunya, memastikan konsultasi dengan para ahli forensik, dan mengizinkan pengamat hukum independen untuk memantau prosesnya. Kredibilitas sistem hukum bergantung pada kemampuannya untuk bertindak tegas dan tidak memihak, terutama ketika tuduhan tersebut menyangkut orang-orang yang dipercaya memegang kepemimpinan nasional.
Proses hukum tidak hanya harus adil, tetapi juga harus terlihat adil. Transparansi sangat penting. Proses hukum yang tertutup, pola penyampaian informasi yang selektif berdasarkan kepentingan tertentu, dan pernyataan yang tidak jelas hanya akan memperdalam kecurigaan publik.
Sebaliknya, investigasi terhadap dugaan ijazah palsu harus terbuka untuk pengawasan eksternal. Para ahli hukum, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga akademik harus diundang untuk berpartisipasi atau mengamati.
Dengar pendapat publik, konferensi pers, dan temuan yang dipublikasikan adalah alat yang dapat memulihkan kepercayaan. Ketika publik terus mendapatkan informasi, mereka cenderung menerima hasilnya, apa pun hasilnya. Namun, ketika prosesnya tidak transparan, bahkan putusan yang sah pun akan disambut dengan skeptisisme.
Kedua, rakyat harus bersuara dan bergerak. Jika lembaga gagal bertindak, rakyatlah yang harus melakukannya. Mobilisasi warga bukan sekadar hak, melainkan tanggung jawab. Protes damai, forum publik, dan kampanye digital harus terus memperkuat tuntutan keadilan. Isu ijazah palsu bukanlah hal sepele; isu ini melemahkan meritokrasi, pendidikan, dan supremasi hukum.
Masyarakat harus tetap gigih, terorganisir, dan strategis. Mobilisasi massa secara historis telah menjadi kekuatan yang dahsyat di Indonesia, sejak jatuhnya Suharto hingga gerakan reformasi. Saat ini, energi yang sama harus disalurkan untuk memastikan bahwa tidak seorang pun dapat menduduki jabatan publik melalui cara-cara curang.
Lembaga-lembaga pendidikan, baik milik pemerintah maupun swasta, harus segera mengambil sikap untuk menyerukan penyelesaian kasus yang mencederai dunia pendidikan ini. Para rektor, dekan, hingga dosen, guru dan peneliti, plus mahasiswa di seluruh nusantara, merupakan pihak-pihak yang terkait langsung dengan persoalan tersebut. Oleh karenanya, sikap diam lembaga pendidikan adalah pertanda keterlibatan aktif mereka dalam kekacauan moralitas di dunia pendidikan selama ini.
Ketiga, parlemen dan eksekutif harus ditekan untuk bertindak. Secara politis, lembaga legislatif dan eksekutif harus dimintai pertanggungjawaban. Parlemen harus didorong, bahkan jika perlu mesti dipaksa, untuk memulai sidang dengar pendapat yang berfokus pada dugaan ijazah palsu. Sidang dengar pendapat ini seharusnya tidak hanya menyelidiki kasus Joko Widodo tetapi juga kasus serupa di berbagai daerah. Tujuannya bukan untuk menyasar individu, tetapi untuk menegakkan standar dan hukum yang adalah hasil produk parlemen bersama eksekutif.
Anggota parlemen yang tetap diam atau mengabaikan harus diingatkan bahwa mereka melayani rakyat, bukan faksi politik. Demikian pula, cabang eksekutif harus menunjukkan keberanian dan integritas dengan bekerja sama dalam penyelidikan dan menahan diri dari taktik obstruktif.
Keempat, pada kondisi yang amat krusial, intervensi internasional mungkin diperlukan. Ketika lembaga domestik gagal memberikan keadilan, mekanisme internasional harus dipertimbangkan. Sebuah petisi harus diluncurkan untuk meminta badan hukum internasional, seperti Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa atau badan antikorupsi internasional, untuk menyelidiki dan menuntut kasus-kasus ijazah palsu yang belum terselesaikan.
Ini bukan tindakan putus asa, melainkan seruan strategis terhadap norma-norma global. Indonesia merupakan penandatangan berbagai konvensi internasional tentang pendidikan, tata kelola pemerintahan, dan hak asasi manusia. Jika pemerintah tidak dapat, atau tidak mau, menyelesaikan kasus-kasus ini, maka tekanan internasional mungkin menjadi satu-satunya jalan yang tersisa.
Terakhir, peran media dan masyarakat sipil harus semakin intensif dalam menjalankan perannya sebagai kanal suara dan aspirasi publik. Jurnalis harus terus menyelidiki, melaporkan, dan mempertanyakan. Organisasi masyarakat sipil harus memantau proses hukum, menerbitkan analisis independen, dan menyediakan platform bagi para pelapor. Kasus dugaan ijazah palsu Jokowi tidak boleh dibiarkan lenyap dari wacana publik.
Media harus melawan penyensoran dan intimidasi. Mereka harus mengutamakan kebenaran daripada akses, dan integritas daripada kenyamanan. Masyarakat sipil harus tetap menjadi pengawas, bukan anjing piaraan. Bersama-sama, mereka membentuk tulang punggung akuntabilitas demokratis.
Persoalan ijazah palsu bukan hanya tentang satu orang atau satu kasus, melainkan tentang integritas lembaga-lembaga di Indonesia. Ketika suara publik diabaikan, menunggu saja tidak cukup. Tindakan hukum, mobilisasi warga, tekanan politik, advokasi internasional, dan kewaspadaan media harus menyatu menjadi satu tuntutan: tegakkan kebenaran, lindungi demokrasi, dan pulihkan kepercayaan publik. (*)
_Penulis adalah lulusan pasca sarjana bidang studi Global Ethics dari Birmingham University, England; Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012; Petisioner HAM pada Komite Keempat Perserikatan Bangsa-Bangsa, Oktober 2025_














