Surabaya – Hari Kebangkitan Nasional ke-117 tahun, mengenang sejarah berdirinya Boedi Oetomo (Budi Utomo) pada 20 mei 1908. Organisasi didirikan oleh Dr. Soetomo, Dr. Wahidin Soedirohusodo, H.O.S. Tjokroaminoto, Ki Hajar Dewantara, Eduard Douwes Dekker, Dr. Cipto Mangunkusumo dan mahasiswa School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) di Jakarta, menjadi tonggak awal pergerakan nasional yang terorganisir ditanah air karena sebelum tahun 1908, perlawanan terhadap penjajah lebih bersifat lokal dan sporadis.
Pada masa sistem pemerintahan kolonial Belanda, masyarakat pribumi menderita karena tereksploitasi ekonominya dan politik liberal yang diterapkan hingga membuat Eduard Douwes Dekker menulis novel berjudul “Max Havelaar” yang berisi tentang kecaman kebijakan pemerintah kolonial dan menuntut agar Belanda tidak tutup mata terhadap penderitaan rakyat jajahannya sehingga lahir kebijakan pemerintah Belanda terhadap rakyat jajahannya bernama “Politik Etis” berisi tiga program utama meliputi irigasi, edukasi, dan transmigrasi. Boedi Oetomo lahir dari
keresahan akan penderitaan masyarakat akibat penjajahan bergerak melalui bidang sosial dan budaya, tanpa terlibat langsung dalam politik. Organisasi berfokus pada peningkatan pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan sebagai sarana membangkitkan kesadaran nasional dan memperbaiki kondisi rakyat pribumi dan menjadi inspirasi dari berbagai organisasi pergerakan lain yang lebih politis. Hari Kebangkitan Nasional bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi menjadi pengingat akan pentingnya persatuan, semangat gotong royong, nasionalisme dan mempertahankan keutuhan bangsa di tengah berbagai krisis.
Semangat kebangkitan nasional mesti diwariskan dari generasi ke generasi, menjadi fondasi dalam menjaga kedaulatan, serta menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Boedi Oetomo menjadi pemicu perjuangan untuk melepaskan bangsa ini dari penjajahan, dikenal sebagai organisasi modern pertama di Indonesia yang menanamkan rasa nasionalisme. Kesadaran inilah yang membangkitkan para pemuda untuk berjuang melawan kolonialisme Hindia Belanda. Perjuangan bangsa Indonesia saat ini belum selesai. Musuh kita saat ini bukan kolonialisme Hindia Belanda, tapi musuh yang datang dari bangsa kita sendiri.
Memperingati Hari Kebangkitan Nasional bukan sekadar melaksanakan kegiatan yang bersifat seremonial tetapi menjadi momentum untuk melakukan refleksi dari nilai-nilai keteladanan. Kita semestinya menghormati jasa para pejuang atau pahlawan dengan memberikan jaminan hidup yang layak kepada para veteran, mantan pejuang yang hidupnya terlantar.
Tumbangnya nasionalisme merujuk pada beberapa soal, namun umumnya mengacu pada penurunan semangat kesadaran dan loyalitas terhadap bangsa dan negara. Hal ini bisa terjadi akibat berbagai faktor, seperti krisis ekonomi akibat ketidakmampuan pemerintah mengatasi masalah ekonomi dan kesejahteraan yang dapat memicu ketidakpercayaan rakyat atau masyarakat terhadap pemerintah, pada akhirnya dapat merusak semangat nasionalisme. Ketidakadilan sosial yang tengah terjadi di masyarakat, seperti
kesenjangan yang lebar antara kaya dan miskin, juga bisa memicu rasa kecewa dan ketidakpercayaan terhadap sistem yang ada, sehingga menggerogoti semangat nasionalisme. Kepemimpinan yang tidak mampu mengemban amanah dengan baik, tidak memiliki visi yang jelas, atau bahkan bertindak korupsi dapat membuat masyarakat kehilangan kepercayaan dan semangat untuk membangun bangsa.
Pengaruh ideologi lain, seperti globalisme atau sekularisme, dapat merusak semangat nasionalisme karena mengutamakan kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok tertentu di atas kepentingan bangsa. Kelas menengah kini terancam turun ke bawah, kehilangan akses pendidikan dan kesehatan. Jika pemerintah tidak segera
fokus ke sektor tenaga kerja dan perlindungan sosial, risiko ketidakstabilan akan semakin besar. Di tengah ekonomi yang melambat, PHK menunjukkan peningkatan secara signifikan terjadi tanpa transparansi dan data yang valid.