Surabaya – Eko Gagak seorang aktivis dan satu suara yang dikenal kritis, menegaskan bahwa pengibaran bendera fiktif One Piece bukanlah suatu penghinaan, melainkan ekspresi protes terhadap ketidakadilan sosial dan politik yang terjadi di Indonesia. Dalam sebuah pernyataannya, ia menggambarkan bagaimana bendera Straw Hat Jolly Roger, yang terkenal dari seri anime dan manga Jepang “One Piece”, telah berkibar sebagai simbol perjuangan rakyat yang merasa terabaikan dalam upaya meraih kemerdekaan yang nyata.
Berdasarkan deskripsi Eko Gagak, bendera yang menggambarkan tengkorak dan dua tulang bersilang, serta topi jerami kuning bukan sekadar lambang dari bajak laut yang dipimpin oleh karakter Monkey D. Luffy, tetapi merupakan bentuk kritik terhadap perilaku para pejabat yang dianggap korup. “Kenyataannya, kekayaan dan sumber daya alam bangsa ini hanya dinikmati oleh segelintir orang,” ujarnya.
Tren pengibaran bendera One Piece belakangan ini menyebar luas di media sosial, dan media massa, terutama menjelang Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke-80. Aksi ini, menurut Eko Gagak, menjadi saluran aman bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi dan kekecewaan terhadap sistem yang ada. Meskipun pemerintah dan parlemen mengecam gerakan ini dan menganggapnya provokatif, Eko Gagak berpendapat bahwa tuduhan terkait makar adalah hal yang berlebihan dan tidak tepat.
Kritik terhadap ketidakadilan melalui simbolisme seperti bendera One Piece mengingatkan kita pada pentingnya mengekspresikan ketidakpuasan terhadap otoritas yang menindas. Dalam pandangannya, gerakan pengibaran bendera One Piece ini bukan hanya sekadar untuk mengolok-olok, tetapi untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi seluruh rakyat. “Kami mencintai negeri ini, namun tidak sepenuhnya setuju dengan sistem yang ada,” tegasnya.
Kontroversi ini terus memicu perdebatan di masyarakat, seiring dengan semakin kuatnya suara-suara kritis yang merindukan perubahan. Eko Gagak menjadi salah satu tokoh yang terus mengingatkan pentingnya perjuangan untuk keadilan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks hukum, Eko Gagak menjelaskan bahwa tidak ada peraturan yang melarang pengibaran bendera non-negara, termasuk bendera fiksi. Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2009, selama bendera Merah Putih dikibarkan di posisi teratas, maka tidak ada pelanggaran hukum dalam tindakan ini.
Eko Gagak menutup pernyataannya dengan seruan untuk lebih memahami makna dari pengibaran bendera sebagai simbol solidaritas dan harapan seluruh rakyat akan kemerdekaan dan keadilan yang sejati. “Di era reformasi ini, tampaknya pemerintah dan parlemen berlagak populis, di sisi lain juga menindas dan memperkaya diri sendiri,” pungkasnya.